Selasa, 28 Juli 2009

Ini Budi
I ni bu di
bu di ti dak ja di ber ma in bo la
bu di ke ce wa
I ni bu di
bu di ti dak mau ber ba gi
bu di ti dak a pa a pa
Tu han ke ce wa

Roti Tanpa Ikan
Pulang dari gereja seorang anak membeli bakpao. Meski baru saja mendengar bacaan Kitab Suci mengenai 5 roti dan 2 ikan dia tetap tidak mau berbagi roti yang ada di tangannya dengan sang kakak. Kakaknya lalu melaporkan pada ibunya. Ibunya pun langsung menegur anak yang pelit itu, “Apa kamu tidak ingat, bukankah tadi baru saja mendengar bahwa 5 roti 2 ikan itu bisa dibagikan untuk 5000 orang lebih, sementara kamu punya satu roti dan hanya dibagi berdua dengan kakakmu. Kita harus mau berbagi...”
Anak itu dengan kalem menjawab, “Ma..ini roti isi kumbu, nggak ada ikannya”
Alasan anak itu hanya satu dari seribu alasan kita untuk tidak berbagi.

Engkau yang Kubagikan
“Tuhan aku memiliki dua bakul nasi, berkatilah agar bisa dibagikan” Yesus menggelengkan kepala untuk permintaan itu.
“Tuhan aku punya dua piring nasi..” Yesus juga menggeleng tidak mau.
“Tuhan aku memiliki sepiring nasi..” Yesus masuga tidak beranjak.
“Tuhan, aku tinggal memiliki sebutir nasi...mungkinkah aku berbagi ?” Yesus tetap saja menggelengkan kepala.
“Tuhan, aku tidak memiliki apa-apa lagi...” Yesus beranjak dan berkata, “Kemarilah kamu. Kau akan Kuberkati dan akan Aku bagikan pada mereka yang lapar akan kasih sayang.”

Tidak Tepat Waktu
Seorang pengusaha duduk di gereja. Tak lama kemudian Yesus datang dan duduk di dekatnya. Selesai pengusaha itu berdoa, Yesus berkata padanya, “Pak, dulu...dahulu sekali pernah Aku mengadakan mukjizat dengan memberi makan 5000 orang lebih hanya dengan 5 roti dan 2 ikan. Rasanya sekarang Aku ingin mengulanginya lagi, bagaimana pendapatmu?”
“Oh Tuhan, memang di kota ini empat tahun yang lalu pernah terjadi gempa dahsyat dan banyak yang membutuhkan bantuan, tapi mereka sekarang sudah hidup layak dan tak perlu lagi dibantu. Juga orang-orang miskin pun sudah dapat BLT dari pemerintah. Anak-anak sekolah sudah dapet BOS. Nah rasanya kok, nggak tepat waktu kalu sekarang.” katanya sambil berharap Yesus segera berlalu dari sampingnya.

Penginapan Itu....
Bagi perziarah di Sendangsono yang tidak bawa atau tidak punya uang tentu akan minder melihat rumah bagus di samping sendang yang dijadikan penginapan. Mungkin yang pertama terpikir adalah menginap di tempat itu mahal bayarnya. Mereka sama sekali tak akan menyangka bahwa untuk menginap di rumah itu bayarannya sukarela. Mau sejuta boleh, mau seratus ribu boleh, mau seribu rupiah...boleh. Mau tidak bayar pun, boleh. Bahkan untuk yang benar-benar tidak punya uang untuk biaya pulang, Sang Pemilik penginapan itu akan nyangoni! Kadang ketika ada orang bertanya, apakah bangunan itu penginapan, maka pemilik itu akan menjawab, ‘Bukan! Bukan penginapan, tetapi bisa untuk menginap.” Bangunan itu menjadi sarana baginya untuk berbagi.

Kecukupan
Seorang teman berkata, “Orang yang kecukupan itu, bila pendapatannya berupa deret ukur (berkali lipat) sedang pengeluarannya berupa deret hitung (bertambah-tambah).” Sambil mendengarkan aku manggut-manggut saja, mungkin itu alasannya orang tidak berbagi. Kita selalu terpaku bahwa berbagi itu mesti berwujud harta atau materi yang kita miliki.

Meski Secuwil
Apa ada yang protes, ketika mengikuti misa yang kebetulan hostinya tidak cukup lalu dipecah-pecah, hingga hanya dapat secuwil kecil? Jika ada yang protes maka sebesar apapun hosti yang diterimanya tidak akan berarti.

Biaya Sosial

Sebulan yang lalu banyak orang khususnya di pedesaan yang berkeluh kesah sama. Banyak undangan, yang berarti banyaknya sumbangan yang harus diberikan. Itulah biaya sosial yang makin hari rasanya makin tak tertanggungkan. Semangat awal dari tradisi nyumbang adalah semangat berbagi, namun ketika ketetapan ukuran yang disebut ‘layak’ harus terus diikuti maka berbagi itu menjadi beban.
Sama halnya ketika kita terus berpikir berapa besar ‘layak’ nya kita berbagi maka akan semakin berat rasanya untuk berbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar