Sabtu, 11 Juli 2009

Inspirasi No. 29

Yang Terpilih
Terpilihlah satu dari tiga calon, terpilihlah satu dari puluhan tokoh, terpilihlah satu dari sekian ratus juta manusia. Terpilih setelah berminggu-minggu mengatur taktik, strategi, bergaya, dan bermanis-manis serta menahan jengkel untuk menjadi yang terpilih. Yang terpilih bukanlah kita, karena kita bukan terpilih tapi dipilih oleh Dia karena kasihNya.

Suara-suara
Suara-suara kita dihitung di sini, lalu dibawa ke sana untuk dijumlah, dan dikirim ke pusat untuk dijumlah lagi. Namun saking hebatnya ilmu pengetahuan, saking pintarnya otak manusia, seluruh suara-suara itu bisa dibuat sampling dan hanya dengan menghitung ribuan suara kita bisa mengetahui persentase hasil perhitungan jutaan suara, itulah quick count.
Untuk melihat perilaku manusia Allah tidak perlu melakukan quick count. Perilaku seluruh manusia di bumi ini disimpulkannya dengan satu kesimpulan, ‘Mereka pantas dikasihi’.

Bersuara Tanpa Suara
Hari Rabu lalu, kita bersuara tapi tidak mengeluarkan suara. Kita bersuara dengan bahasa simbol, yakni tanda contreng. Kita bersuara untuk mengungkapkan rasa suka, kita bersuara untuk meletakkan harapan atas perjalanan hidup negeri ini.
Seringkali kita pun bersuara tanpa mengeluarkan suara, yakni dengan membuat tanda salib. Kita bersuara untuk mengungkapkan keyakinan, kepercayaan, dan ke-agama-an kita. Sementara Dia menunggu kita .... menunggu kita melakukan hal tersebut sebagai ungkapan kasih, karena untuk alasan itu pulalah Dia telah disalibkan.

Non
Setiap kali dipanggil oleh orangtuaku spontan aku akan menjawab, ‘Non...!’ (o dibaca seperti pada kota). ‘Non’ dalam bahasa Indonesia artinya ‘ya’. Sebagai Bapa, Dia pun memanggil aku dan aku spontan menjawab, ‘non’. Tapi ketika Dia menceritakan tugas yang harus aku lakukan, spontan pula aku berkata, ‘Nyuwun pangapunten.....’ dan bergeser menjauh dariNya.

Sendiri di Keramaian
Malam Jumat pertama, Ganjuran sangat ramai dikunjungi para peziarah. Aku terselip di antara kerumunan itu. Tak ada satupun dari mereka yang aku kenal, dan tak ada seorang pun dari mereka yang mengenal aku. Sementara kami adalah sama-sama murid guru Yesus, satu sekolahan, bahkan satu kelas. Tapi karena kelas itu sangat besar dan muridNya sangat buanyak, maka wajar pula kalau sampai tidak mengenal satu sama lain.
Karena merasa tunggal guru, maka sekalipun tidak kenal, kucoba untuk menyapa salah seorang. Ya ampuun, ternyata sapaanku malah ditanggapi dengan tatapan curiga. Maka jadilah aku sendiri di tengah keramaian, dan tampak pula olehku bahwa para murid-murid Yesus yang terkasih itu membentuk genk-genk dan mereka asyik dengan kelompoknya tanpa menghiraukan orang lain, sekalipun mungkin orang lain itu ..Yesus sendiri.

Ungkapan Kerinduan
Kematian sering terjadi pada saat yang sama sekali tak terduga. Suatu hari aku datang melayat seorang kenalan yang meninggal. Tidak jauh dari peti mati, aku duduk dan berdoa. Beberapa saat kemudian seseorang duduk di sampingku ketika aku tenggelam dalam doaku. Aku terusik dari doaku ketika orang tersebut berkata lirih, “Kematian menjadi saat yang menyedihkan karena orang sering menganggap bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan. Jika saja mereka memahami kematian sebagai ungkapan kerinduan Bapa pada anakNya, tentu hal itu tidak lagi menyedihkan.”

Memecah Batu
Palu besar alias bodem diayunkan dan menghantam batu yang keras. Setelah berkali-kali palu dibenturkan, akhirnya batu itu pecah. Satu per satu batu-batu besar yang lain dipecah, lalu dipecah lagi. Ada sebongkah batu besar dan keras dalam hati kita, yang berkali-kali dibenturkan pada persoalan namun tidak kunjung pecah juga. Batu itu adalah batu kesombongan.

Nyanyian Katak
Seorang imam duduk di tepi sungai dan mendengarkan suara-suara katak yang riuh bersautan. Tiba-tiba dia melihat seekor katak muda yang diam, duduk di atas batu. katak itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun, dia hanya diam. Imam itu mendekatinya dan bertanya, “Hei katak muda, mengapa kamu tidak ikut bernyanyi dan melantunkan doa pujian pada Allah sebagaimana saudaramu yang lain?
Katak itu berpaling sebentar pada orang yang mengajaknya berbicara. Dia mengamati orang itu dengan seksama, lalu bertanya “Apakah kamu seroang imam?” Orang itu pun mengangguk, mengiyakan.
“Kalau kamu seorang imam, bagaimana mungkin kamu tidak bisa membedakan antara suara rengekan dan pujian?” kata katak muda itu sambil berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar