Sabtu, 20 Juni 2009

Inspirasi 26

Tiupan Angin
Dari dekat kapel atas di Sendangsono, aku melihat ke arah sungai. Tiba-tiba angin bertiup dan tampak daun-daun berguguran. Daun-daun yang gugur itu ada yang berwarna kuning, ada yang berwarna coklat kering, dan ada yang masih hijau. Dari kesemuanya ada satu hal yang kutangkap, daun-daun itu mengalami situasi yang sama. Karena tiupan angin, mereka kehilangan fungsinya sebagai daun bagi pohon yang telah menumbuhkannya. Ketika iman kehilangan fungsi dalam kehidupan kita, maka iman itu pun hanya menunggu datangnya tiupan angin, dan .........

Balonku Ada 5
Sambil berjalan anak-anak bernyanyi dengan riang. Sepintas lagu yang mereka nyanyikan yakni “Balonku ada 5” biasa-biasa saja, tapi setiap mereka selesai pada bait “meletus balon hijau...dueeer’ serempak mereka tertawa. Karena penasaran aku memperhatikan dengan cermat syair yang mereka nyanyikan.
“Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya, merah kuning kelabu, biru muda dan ungu, meletus balon hijau....duer..” Sampai di sini aku baru sadar, pantas, pantas mereka tertawa. Ternyata balon hijau yang meletus bukanlah balon milik mereka, maka tentu saja hati mereka tidak kacau, tapi justru tertawa. “Lha wong bukan punyaku, kok! Peduli amat?”
Demikianlah para murid di dalam perahu menuduh Yesus tidak peduli, dan tidak ambil pusing dengan keselamatan mereka. Agaknya mereka yakin bahwa mereka bukanlah milik Yesus, mereka merasa tidak dimiliki Yesus.

Air yang Jernih
Untuk berkaca, untuk dapat bercermin di air, tentu kita memilih air yang jernih dan bukan air yang keruh, sebab hanya pada air yang jernih maka bayangan kita akan terlihat jelas. Tapi cobalah membuat sedikit gelombang di air itu, maka sekalipun bayangan kita masih tampak namun wujudnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Demikian pun ketika angin bertiup dan membentuk riak pada permukaan hidup kita, mungkin iman kita akan goyah dan pleyat-pleyot, tapi sabarlah, ketika angin itu reda dan kehidupan kembali tenang lihatlah kembali. Adakah bayangan iman itu masih tetap seperti sedia kala? Kalau masih tetap, nah kita pun lulus ujian 100%.


Suara Air

Sepandai-pandainya Butet Kertarejasa atau siapapun menirukan suara orang, mereka tak bisa menirukan suara gemericik air. Yang bisa dilakukan adalah merekamnya dan memutar kembali suara tersebut. Namun adakah rekaman suara itu mampu memberi kesegaran dan sensasi alaminya? Kitab Suci adalah rekaman sabda Yesus, untuk mendapatkan kesegaran dan sensasi kasihNya, masuklah...

Perubahan Wujud
Aku meletakkan sebongkah es batu di atas piring, lalu piring dengan bongkahan es di atasnya tersebut kuletakkan di bawah terik matahari. Beberapa menit kemudian, es mencair dan air membasahi permukaan piring. Beberapa jam kemudian air itu menguap menjadi uap air dan pergi entah kemana. Namun aku yakin bahwa uap air itu akan turun kembali sebagai hujan air maupun hujan salju untuk kemudian mengalami siklus besar yang sama namun dalam skala waktu dan perjalanan yang berbeda. Dan aku membandingkan peristiwa itu dengan anugerah Allah dalam hidupku.

Cinta di dalam Tenggok
Si kecil Cinta rewel dan terus nangis. Mas Pius ayahnya, menghibur dengan cara yang aneh. Cinta dimasukkan dalam tenggok (keranjang bambu) dan dibopongnya kesana-kemari. Cinta pun diam bahkan tertawa-tawa. Melihat hal itu, aku merasa iri dan terpikir olehku adakah ketika aku rewel, Bapa juga memasukkan aku ke dalam tenggok dan membopongnya kesana-kemari? Mungkin ya juga sih, tapi agaknya aku kehilangan sifat kanak-kanak sebagaimana Si Cinta, sehingga aku masih juga tidak bisa tertawa bahagia.

Alkisah Sebuah Surat
Alkisah sebuah surat dari seorang umat di sebuah Paroki melayang dan sampai di meja Uskup. Tidak ada yang menarik dari isi surat itu kecuali paragraf terakhirnya. Dalam paragraf tersebut, tertulis harapan agar Bapa Uskup mempertimbangkan untuk tidak me-mutasi romo yang berkarya di paroki tersebut.
Alkisah pula, setelah surat itu terkirim, si penulis surat menimbang-nimbang kembali dalam hatinya, sekalipun surat itu sudah terlanjur terkirim, dan tak mungkin ditarik kembali.
Alkisah lagi, si penulis menunggu dan menunggu reaksi dari surat yang telah dikirimnya. Saat menunggu itulah muncul kepasrahan, apa pun yang terjadi tentu merupakan hal yang terbaik adanya.
Demikianlah alkisah sebuah surat yang bercerita tentang hubungan gembala dan dombanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar