Jumat, 04 September 2009

Inspirasi RE No. 37

Pokokmen

Ada kata dalam bahasa Jawa yang membuat kita menjadi bisu dan tuli, yakni
kata ‘pokokmen’. Satu kata ini memang istimewa. Kalau sudah ...’pokokmen’
maka kita menjadi orang tuli yang tidak mau mendengar lagi pendapat orang
lain. Kalau sudah...’pokokmen’ maka kita menjadi orang bisu yang tidak bisa
berkata lain kecuali...’pokokmen’, sekalipun orang lain tidak mengerti.
Bahkan kalau sudah ...‘pokokmen’ , Allah pun harus menuruti kita.

Efata*

Ketika kita marah karena sikap dan tindakan orang lain, ketika kita kesal
karena orang lain tidak bisa memahami prinsip kita, Dia berbisik pelan di
telinga kita ‘Efata...’. Ketika kita sedih, ketika kita bahagia, Dia berbisik pelan
di telinga kita, ‘Efata...’. Ketika kita diam dan tak tahu harus berkata apa, Dia
berbisik pelan di telinga kita, ‘Efata...’. Dan ketika kita memejamkan mata
karena tidak bisa menerima kenyataan hidup, Dia pun berbisik pelan
‘Efata...’. Sayangnya bisikannya sangat lembut dan dengan mudah ditelah
oleh keinginan untuk mengangkapkan diri kita sendiri. Akhirnya ‘Efata...’ itu
tidak pernah kita dengar.
(*Efata = Terbukalah)

Bisu dan Tuli

Ada empat orang, yang satu tuli karena gendang telinganya pecah saat
mendengar bom meledak tidak jauh darinya. Dia pernah bisa mendengar,
namun sekarang kehilangan pendengarannya. Yang satu bisu karena pita
suaranya rusak akibat suatu penyakit. Dia pernah bisa bicara tetapi
kehilangan kemampuannya berbicara.Yang satu lagi bisu dan tuli sejak lahir,
dia tidak pernah bisa berbicara dan tidak pernah bisa mendengar
sebelumnya. Jika ada pertanyaan, lantas yang satu lagi bagaimana? Marilah
kita melihat ke dalam diri dan hati kita sendiri.

Namanya Gudheg

Tuli dalam bahasa Jawa namanya ‘bu..dheg’, bingung tidak tahu harus
bagaimana disebut ‘ju...dheg’, kalau yang sering untuk sarapan namanya
‘gu...dheg’. Nah, kalau dinasehati tidak juga manut namanya ‘nda...bleg’.
Tidak begerak kemanapun namanya ‘man...dheg’.
Dari kelima istilah itu,hanya yang namanya gudheg yang tidak sering melekat pada diri kita. Sementara istilah yang lain,.....iya juga sich! Hati kita sering ‘budheg’, pikiran kita sering ‘judheg’ , sikap kita sering ‘ndableg’ , iman kita juga ‘mandheg’.

Takut Salib

Pak Haji datang dan berbincang denganku. Dia bercerita suatu saat
menderita sakit dan dirawat di rumah sakit Panti Rapih. Ketika dia ingin
melaksanakan Shalat di tempat tidur, dia melihat salib Yesus persis di
depannya. Pak Haji ngak jadi shalat. Ketika perawat datang, dia meminta
agar tempat tidurnya diputar supaya dia bisa melaksanakan shalat.
Pak Haji itu terlalu takut untuk menyembah Yesus, sementara kita terlalu
takut untuk mengikuti Yesus. Kita lebih berani mengikuti kesenangan dan
kemauan kita sendiri.

Anak Kunci

Barang yang kita pergunakan untuk membuka pintu rumah adalah anak kunci.
Anak kunci juga kita pergunakan untuk menghidupkan kendaraan. Anak kunci
pula yang kita pergunakan untuk membuka lemari ataupun kotak simpanan kita.
Jika anak kunci hilang...ah jangan khawatir, masih ada tukang kunci.
Untuk membuka hati dan menghidupkan iman kita butuh anak kunci
khusus.Anak kunci itu bernama ‘kasih’. Jika kita kehilangan kasih, ..ah jangan
khawatir, Dia adalah sumber kasih yang tak akan pernah kering.

Aku ki...

Coba perhatikan gaya bicara kita. Adakah kita sering memulai kalimat dengan
kata ‘Aku ki...’ atau ‘Saya itu...’? Semakin banyak kalimat yang kita ucapkan
dengan awalan kata itu, menunjukkan bahwa kita lebih sering ingin didengar,
dan tidak ingin menjadi pendengar.

Gelang Karet

Gelang karet sangat beraneka ragam kegunaannya dan kita paling sering
kebingungan mencarinya ketika membutuhkan. Gelang karet bisa untuk
mengikat sesuatu, bisa untuk menjepret sesuatu, bisa untuk dimainkan di selasela
jari atau bermain lompat tali.
Sabda Tuhan di dalam kitab suci pun sangat beraneka ragam manfaatnya,
hanya saja kita sering kebingungan untuk mencari dan memahaminya, terlebih
menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti gelang karet, sabda juga
sering dibuat menjadi sangat lentur, semata-mata agar kita bisa memaklumi diri
kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar